Thursday, September 1, 2022

Review Buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia"


"Mengenal lebih dekat proklamator Indonesia"



Judul buku : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Judul asli : Sukarno an Autobiography as Told to Cindy Adams
Penulis : Cindy Adams
Penerjemah : Syamsu Hadi
Penerbit pertama : The Bobbs-Merrill Company Inc, New York, 1965
Penerbit Indonesia : Yayasan Bung Karno bekerjasama dengan Penerbit Media Pressindo
Ukuran : 16 X 24 cm
Tebal : xiii + 415 halaman
Cetakan : pertama, Agustus, 2007 (edisi revisi)
ISBN : 979-96573-2-9
Peresensi : Sri Juli Astuti



       Buku ini lahir atas saran Howard Jones, Duta Besar Amerika untuk Indonesia kepada Sukarno,"Anda tidak bisa menemui semua orang di seluruh dunia secara pribadi, tetapi Anda bisa menemui mereka lewat halaman-halaman buku. Anda adalah ahli pidato terbesar setelah William Jennings Bryan. Anda menawan hati jutaan pendengar di lapangan terbuka. Mengapa tidak berusaha mencapai jumlah pendengar yang lebih besar lagi?" (halaman 16).


       Awalnya, Sukarno keberatan kisah perjalanan hidupnya dituliskan, karena menurut ajaran Islam baik buruknya kehidupan seseorang hanya dapat dinilai setelah dia meninggal dunia. Namun, pertemuan Sukarno dengan Cindy Adams mengubah pikirannya. Salah satu pertimbangan Sukarno bersedia diwawancara untuk penulisan otobiografi adalah usia yang mulai bertambah tua, serta harapan agar buku tersebut menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan Indonesia tercinta.


       Cindy Adams bekerja sebagai wartawati Amerika, yang berada di Jakarta pada tahun 1961, bersama suaminya (Joey Adams) pemimpin Misi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Cindy Adams di mata Sukarno adalah,"Perempuan Amerika yang riang dan rapi ini, dengan rasa humornya yang tinggi, menawan hatiku. Wawancara dengan Cindy menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati. Tulisannya jujur dan dapat dipercaya sepenuhnya. Bahkan dia tampak menaruh simpati pada Indonesia dan persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan lebih dari itu, dia adalah penulis tercantik yang pernah kutemui!" (halaman 18).


       Istilah penyambung lidah rakyat ditemukan dalam tulisan Bung Karno pada buku Menggali Api Pancasila,"Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat." Hal tersebut relevan dengan kebiasaan Sukarno yang mirip Harun ar-Rasyid, keluyuran di malam hari. Sukarno punya prinsip,"Aku milik rakyat. Aku harus melihat mereka, aku harus mendengarkan mereka, dan bersentuhan dengan mereka. Aku merasa bahagia kalau berada di tengah mereka. Bagiku mereka adalah roti kehidupan. Aku membutuhkan massa rakyat."


       Sukarno lahir di Surabaya, 06 Juni 1901, waktu fajar, saat Gunung Kelud meletus. Nama lahirnya Koesno. Ayahnya Raden Sukemi Sosrodiharjo, keturunan Sultan Kediri. Ibunya bernama Idayu, keturunan bangsawan Bali, dari kasta Brahmana. Waktu kecil Koesno sakit-sakitan. Ayahnya mengganti namanya jadi Sukarno, diambil dari nama tokoh di Mahabharata. Kita bisa membaca kisah ayah-ibu Sukarno yang kawin lari karena perbedaan suku (Jawa dan Bali), maupun keyakinan (Islam dan Hindu). Pernikahan beda suku mulai terjadi pada masa itu. Sukarno menulisnya,"Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami adalah Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu." (halaman 25).


       Sukarno dibesarkan secara sederhana. Singkatnya, saat memasuki sekolah menengah dia dimasukkan ke Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Dia dititipkan ke rumah H.O.S. Cokroaminoto. Pak Cok adalah pemimpin Sarekat Islam (SI), menjadi tempat Sukarno belajar tentang politik dan organisasi. Sukarno menulis lebih dari 500 artikel untuk Oetoesan Hindia, surat kabar Pak Cok, dengan nama pena Bima. Sukarno akhirnya menikahi Utari Cokroaminoto, putri gurunya. Namun, tahun 1922 Sukarno memutuskan untuk bercerai.


       Sukarno melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik Tinggi di Bandung. Bandung menjadi kota yang mempertemukannya dengan Inggit Garnasih, istri keduanya. Tanggal 04 Juli 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kiprah perjuangan melalui dunia politik membuat Bung Karno mulai mengenal kehidupan di penjara, seperti Banceuy, Sukamiskin, juga pengasingan. Sejarah mencatat Bung Karno pernah menjalani masa pembuangan di Ende, Flores, juga Bengkulu. Bung Karno mengenal Fatmawati saat pengasingan di Bengkulu, yang kemudian menjadi ibu negara, serta memberi 5 putra dan putri.


       Kedatangan Jepang dimanfaatkan Bung Karno dengan menyusun strategi mempersiapkan kemerdekaan. Bung Karno berkolaborasi dengan Bung Hatta. Mereka dikenal sebagai dwi tunggal. Perjuangan melalui jalur diplomasi terbukti membuahkan hasil. Tanggal 17-08-1945 Bung Karno membaca teks proklamasi sebagai pertanda kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia terus berlanjut. Bung Karno sebagai presiden pertama Indonesia, berupaya mendapatkan dukungan negara-negara lain, melalui kunjungan/lawatan ke luar negeri.


       Bung Karno sering dijuluki Don Juan karena memiliki beberapa istri. Uraian pada otobiografi hanya mengisahkan hubungan Bung Karno sampai pada Hartini, dan tidak membahas istri-istri lainnya. Perubahan politik membuat kehidupan Bung Karno terkena dampaknya. Tulisan Bu Cindy ditutup dengan pesan Bung Karno,"Apabila aku telah mencapai sesuatu selama di atas dunia, ini adalah karena rakyatku. Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa. Kalau aku mati, kuburkanlah Bapakmu menurut agama Islam dan di atas batu kecil yang biasa engkau tulislah kata-kata sederhana: Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia." (halaman 375).


       Otobiografi karya Cindy Adams dilengkapi dengan lampiran-lampiran sebagai berikut:
- Lampiran 1 memuat wasiat Bung Hatta kepada Guntur Sukarno Putra.
- Lampiran 2 berisi tentang Yayasan Bung Karno.
- Lampiran foto-foto.
Tulisan riwayat hidup Bung Karno disajikan secara menarik. Apabila ada yang perlu diperbaiki adalah penulisan percakapan semestinya mengacu pada EYD, yaitu . (titik) dilanjutkan " (tanda penutup), bukan sebaliknya.
Foto-foto sebaiknya diletakkan di akhir atau pertengahan bab, sehingga mudah dilihat dan sesuai dengan narasi yang dibaca. Penempatan foto-foto di bagian belakang buku, menambah waktu untuk menyesuaikan foto dengan cerita yang ditulis pada bab-bab sebelumnya. Apakah Anda tertarik untuk mengenal sisi kehidupan pribadi Bung Karno, bestie?


#bacabarengwishagustus2022
#muslimahbacabuku
#MenggapaiJannah





No comments:

Post a Comment