Friday, August 23, 2013

Buku Antologi Pertama Terbit : "Senyum Malaikat Kecil"


~ Buku antologi ke-1 : Senyum Malaikat Kecil. ~


~ Alhamdulillah, telah terbit buku antologi pertama saya : ”Senyum Malaikat Kecil”.

.........................

            Arif dan Rizal saling berpandangan penuh arti. Arif dan Rizal tahu, Hiro pasti jarang bermain-main di kebun yang luas seperti mereka. Hiro lebih akrab dengan mainan modern yang harganya mahal. Arif mengajari saudaranya memilih dan memotong pelepah pisang tanpa merusak pohon pisangnya. Rizal memberi contoh cara membuat pelepah-pelepah pisang itu menjadi berbentuk kuda-kudaan dan pedang-pedangan.

            “Wow, kita punya kuda dan senjata!” sorak Hiro dengan mata berbinar-binar.

        Tiga kuda perang, tiga pedang sakti dan tiga penunggang gagah. Hiro, Arif dan Rizal berpacu di atas kuda-kuda impian mereka. Mereka berlarian mengitari halaman rumah, berkejaran sambil berteriak dan menyanyikan lagu-lagu tradisional. Hiro segera hafal beberapa lagu-lagu pendek yang dinyanyikan Arif dan Rizal.

            “Jaranan, jaranan, jarane jaran tejiii!” suara Arif dan Rizal bersahut-sahutan.
.........................

~ Cuplikan dari “Hiro, Kuda Perang dan Pedang Sakti”.

Baca selengkapnya bersama 39 cerita anak-anak lainnya di buku berikut ini :


Judul
:
   ”Senyum Malaikat Kecil”
Penerbit
:
   Penerbit Harfeey (cetakan pertama : September, 2012)
Tebal
:
   237 halaman (edisi revisi)
Ukuran
:
   14,8  X  21 cm
Penulis
:
   Boneka Lilin et Boliners (Penerbit + 39 kontributor)
ISBN
:
   978-602-18698-6-4
Harga
:
   Rp50.000,00  +  ongkos kirim


Tulisan saya :   ”Hiro, Kuda Perang dan Pedang Sakti”.
Tulisan ini terpilih sebagai juara ke-2 event menulis cerita anak-anak ~ Penerbit Harfeey (Juli, 2012).

Pemesanan   :
Sms ke         :   0888-307-69-16 (Sri Juli Astuti/Muthia Kamila).
Format          :   SMK_Nama_Alamat_Jumlah.

Anda juga bisa memesan dengan menulis di comment blog ini.

Monggo, silakan dipesan! 
Sebagian hasil penjualan insya Allah selalu saya sedekahkan ke rumah yatim di Surabaya dan sekitarnya.   ^_^



Wednesday, August 21, 2013

Hantaran Bulan Ramadhan dan Lebaran


Hantaran ketupat lebaran.


       Sewaktu kecil, saya pernah tinggal di daerah pedesaan. Saya menikmati sebagian masa kanak-kanak di Ngawi dan Madiun, kota-kota yang menjadi daerah perbatasan antara Jawa Timur-Jawa Tengah. Salah satu kenangan yang berkesan buat saya adalah tradisi saat bulan Ramadhan tiba. Seperti tradisi sebagian masyarakat Jawa pada umumnya, kegiatan menyambut Ramadhan dimulai dengan saling mengantar kue apem (apeman) di antara tetangga. Saya paling suka mencicipi kue apem yang bertabur nangka. Rasa kuenya enak dengan aroma harum buah nangka matang. Hmm, sedap!

         Ada satu keunikan yang terekam dalam memori saya kala tinggal di Ngawi. Suatu sore di bulan Ramadhan, dua orang lelaki dewasa memanggul sebuah peti ke rumah keluarga saya. Saya berlari ketakutan ke belakang rumah. Saya mengira bahwa dua lelaki tersebut membawa peti mati. Setelah tutup peti dibuka, ternyata isinya beraneka makanan. Sebakul nasi, ayam panggang utuh, urap-urap, bermacam jajan pasar, beberapa sisir pisang raja. Wow, saya takjub melihatnya. Dalam kultur masyarakat setempat, terdapat istilah 'nonjok' kepada beberapa orang yang dihormati di lingkungan. Jadi, 'ditonjok' itu bukan berarti dipukul melainkan dikirimi beragam makanan untuk berbuka puasa. Subhanallah. Saya yakin, 'tonjokan' seperti ini pasti bakal disukai banyak orang.

         Di pinggiran Madiun, saya selalu terkenang pada keguyuban masyarakat desa. Ketika bulan Ramadhan tinggal hitungan beberapa hari, orang ramai berbagi hantaran kue apem dan kue-kue lainnya, lengkap dengan buah pisang. Saya biasa mengantarkan nampan berisi kue-kue dari satu rumah tetangga ke rumah tetangga lainnya. Satu hal yang sering membuat saya tersipu malu, para tetangga selalu memberikan angpao kepada pengantar kue yang masih kanak-kanak. Alhasil, seusai acara ater-ater (mengantar kue ke rumah para tetangga) saya sibuk menghitung keping-keping logam yang memenuhi saku baju.

         Ritual lain di daerah pedesaan Madiun adalah saling mengantar makanan bertepatan hitungan malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Menurut saya, budaya ini dimaksudkan untuk bersedekah dan membangun kebersamaan serta kasih sayang dengan tetangga. Saya selalu surprise saat membuka tutup nampan yang dikirim tetangga untuk keluarga saya. Isinya tak selalu hidangan mewah semacam nasi, opor ayam dan kue-kue. Tak jarang, hantaran itu berisi sepiring mie goreng, atau sepiring bubur merah, atau sepiring kolak pisang, atau beberapa biji buah pisang, atau beberapa biji gula Jawa! Namun, pemberi dan penerima sama-sama gembira. Rasa bahagia terpancar dari silaturahim ini. Rasa syukur tersirat dalam agenda saling berbagi meski berupa makanan dan hantaran bersahaja.

         Seminggu setelah lebaran, hantaran ketupat dan pelengkapnya silih berganti datang ke rumah. Saya ingat pengalaman di waktu kecil dahulu. Saya biasa menenteng rantang susun bundar yang besar-besar, beredar dari satu rumah ke rumah tetangga lainnya. Waktu berangkat, rantang itu terasa berat. Saya berharap bisa pulang ke rumah sambil berlari karena isinya sudah kosong. Kenyataannya, para tetangga seringkali membalas hantaran dengan kue-kue atau makanan lain yang mereka miliki. Akibatnya, saya pulang-pergi tetap dengan rantang penuh makanan!

         Saat saya beranjak remaja hingga dewasa, keluarga saya tetap berusaha membuat hantaran pada tetangga di sekitar rumah untuk menyambut Ramadhan serta menyemarakkan malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. Jika berada di rumah, saya tetap kebagian tugas sebagai petugas ater-ater. Tentu saja, setelah dewasa saya tak lagi menerima angpao. Orang sungkan memasukkan recehan ke saku saya kali.... Hehehe, padahal saya mau saja menerima uang yang lembaran merah! Bercanda ya!

         Kini, saya tinggal di sebuah perumahan pada sebuah kota yang sedang berkembang. Di sekitar perumahan yang saya tinggali, daerah pedesaan masih membentang luas. Alhamdulillah, di awal Ramadhan tahun lalu saya bisa berbagi kue-kue sebagai takjil ke tetangga di sekitar rumah. Seusai lebaran, saya mengundang teman-teman kantor ke rumah. Saya membuat acara kupatan lebaran sekaligus syukuran menempati rumah. Saya antarkan ketupat plus lauk-pauk ditambah kue-kue ke tetangga di sekitar rumah. Saya ingin bernostalgia dengan tradisi yang biasa saya lakoni sejak kecil sampai beranjak dewasa. 

         Di luar dugaan, saya menerima tanggapan yang berbeda dengan pola pikir yang terpatri di kepala saya. Suatu sore, saya baru pulang dari kantor. Saya menyapu halaman depan rumah. Seorang ibu tetangga datang menyampaikan aspirasinya pada saya,"Mbak, kita ini orang biasa-biasa saja. Mbak itu kaya, makanya bisa sering ngasih-ngasih ke tetangga. Kita nggak bisa ngasih-ngasih, karena kita ini nggak kaya...."

         Jujur, saya kaget dan nelangsa mendengar kalimat tersebut di atas. Saya berbagi bukan untuk pamer (riya'). Saya memberi karena saya ingin bersilaturahim, menumbuhkan kasih sayang. Saya berbagi karena saya tumbuh di lingkungan yang guyub, senang saling berbagi. Saya memberi hantaran bukan untuk mengharap balasan. Saya memberi karena saya menyayangi. Secara materi, lingkungan tempat tinggal saya sebenarnya dihuni kalangan yang lebih kaya materi dibandingkan tetangga-tetangga saya di desa dahulu. Namun, kemampuan untuk saling berbagi saya rasakan lebih tumbuh subur di hati para tetangga di desa dahulu.

         Saya sudah berpuluh tahun tinggal di kota-kota besar. Dari tahun ke tahun, saya mengamati satu kebiasaan bersahaja yang sudah turun-temurun biasa dilakukan masyarakat Jawa. Saya perhatikan, rasa berbagi, berkirim makanan meski sederhana, bersilaturahim seperti di desa dahulu pada sebagian masyarakat perkotaan relatif kurang semarak. Saya tak paham penyebabnya. Mungkinkah faktor ekonomi telah membuat sebagian masyarakat perkotaan kurang peduli, termasuk berbagi lewat hal-hal kecil?

           Tahun ini, saya rindu hantaran bulan Ramadhan dan lebaran seperti di masa kecil hingga beranjak dewasa ketika masih tinggal di desa, di kota-kota kecil. Bukan kemewahan dan kelezatan kiriman yang menggoda hati saya untuk mengenangnya. Senyuman, salam, sapaan ramah, ketukan pintu dan wajah-wajah tetangga yang berkunjung menorehkan jejak yang sangat berkesan di hati saya. Saya rindu tradisi yang menjadikan tetangga guyub seperti sebuah keluarga.

Pembaca, bagaimana menurut pendapat Anda?