Tuesday, January 29, 2019

Catatan Kecil untuk Dua Sahabat


M. Fadillah berdiri paling kanan.


       Hari ini tiga bulan yang lalu, rasa berduka kembali hadir. Saya mengenang tahun 2018 sebagai tahun duka cita. Di sepanjang tahun 2018, ada beberapa sahabat, teman sejawat, dan teman sekolah yang kembali pada-Nya. Namun, kesedihan yang dalam terasa saat sahabat-sahabat dekat 'pergi' dengan cara yang mengejutkan, meninggalkan duka mendalam. Inilah dua cerita kenangan atas dua sahabat baik saya yang turut menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610.

1) Kenangan persahabatan bersama M. Fadillah

       Kehilangan salah satu sahabat terbaik itu berat. Sampai hari ini saya masih merasa sedih, teramat sangat.... Tiga bulan lamanya, jemari ini belum mampu mengetikkan ungkapan duka. Hingga, sore 29-01-2019 'aroma melati' yang hadir membuat saya teringat kenangan persahabatan kami.


       Pagi itu 29-10-2018, saya terbangun lebih dini. Entahlah, saya tiba-tiba mencari album foto saat awal bekerja di Surabaya. Saya tanpa sadar bergumam lirih,"Fadil, nggak usah berangkat kerja...." Mungkin, kedekatan kami sebagai sahabat membuat saya mampu merasakan firasat buruk. Saat saya tiba di kantor, ada pesan di grup WA bahwa pesawat Lion Air JT-610 hilang kontak. Ujungnya, pesawat dinyatakan jatuh. ID card Moh. Fadillah pun terekspos kamera....

Inilah cuplikan cerita persahabatan kami.
Suatu pagi, ada teman yang berjalan di lorong kantor.
Saya : Dari kantor pusat ya?
Fadil : Iya mbak.
Saya : DL?
Fadil : Enggak mbak. Saya penempatan di sini.
Saya : Alhamdulillah.

       Akhirnya dari beberapa teman dan adik kelas, saya lebih dekat dengan Fadil. Mungkin, hubungan kerja membuat kami lebih sering saling berkomunikasi. Saya biasa bercerita tentang beberapa hal. Fadil pun mau berbagi cerita tentang berbagai hal, termasuk saat dia pdkt ke adik kelas yang cantik.

       Saat dimutasi ke kantor di lt. 4 (sekitar tahun 1999), saya masih sering berkunjung ke kantor lama, minta dibantu mengetik jika banyak pekerjaan. Saya pernah membawa sebungkus kue. Saya mengenang obrolan ini sebagai sesuatu yang mengharukan.
Saya : Fadil, kok kuenya nggak dimakan?
Fadil : Buat Fahmi, mbak....

       Ada satu 'wasiat' untuk saya. Fadil pernah melompat dengan tangan terulur, ingin menyentuh langit-langit ruangan. Dia tidak berhasil.

Fadil : Aku nggak berhasil menggapai impianku.
Saya : Impian apa?
Fadil : Kalo sudah pensiun, Fadil ingin bikin pesantren untuk anak-anak penghafal Al-Quran. Sepertinya, Fadil nggak sampai pensiun. Kalo nggak terwujud, Mbak Yuli yang bangun pesantren ya....
Saya : Memang kamu mau ke mana?
Fadil : Fadil kayaknya kecelakaan pesawat....
Saya : Hush, jangan ngomong gitu. Pamali.

Saya memprediksi Fadil rajin shalat malam. Dia sepertinya sudah tahu bagaimana akhir hidupnya. Beberapa kali Fadillah menyampaikan hal tersebut kepada saya. Namun, saya selalu meminta agar dia tetap berdoa agar diberi-Nya panjang usia.
Selamat jalan, Fadillah. Doakan 'mbakmu' bisa mewujudkan impianmu....
Maafkan kami bila ada kesalahan padamu....


 2)  Kenangan persahabatan bersama Hesti Nuraeni


Hesti Nuraini, adik kelas yang baik hati.


       Saya tak seberapa ingat kapan tepatnya mulai mengenal Hesti Nuraini. Bahkan, saat musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 saya merasa dia bukan siapa-siapa. Saya lupa, dan merasa tidak mengenalnya. Seorang teman yang sedang mengikuti suami tugas belajar di Australia menulis di FB bahwa Hesti pernah bertugas di Surabaya. Saat itulah sosok Hesti yang ramah kembali hadir dalam memori saya.

       Suatu sore saat menunggu azan Ashar di masjid kantor (saya lupa tahunnya), saya menatap jam dinding di tembok. Saya tak merasakan kehadiran seorang muslimah berjilbab yang menatap wajah saya lekat-lekat.

Hesti  :  Subhanallah, mbak.... Matamu indah sekali. Bening, seperti embun pagi.
Saya  :  Apa dik? Maaf ya, namanya siapa? Kita belum saling mengenal.
Hesti  :  Matamu indah sekali, mbak. Bening, seperti embun pagi. Oya, saya Hesti. Mbak namanya siapa?
Saya   :  Saya biasa dipanggil Yuli. Alhamdulillah, mata ini biasa aja kok....

       Sejak pertemuan di masjid itu, saya dan Dik Hesti menjadi teman yang cukup akrab. Kami biasa duduk di lantai masjid menunggu shalat jamaah sambil berbagi cerita. Saya sering bersandar di bahu empuk Dik Hesti yang kala itu bertubuh 'subur' hingga tertidur beberapa menit. Menurut Dik Hesti tidur itu memang lebih nyaman sambil bersandar pada sesuatu yang empuk, seperti bahunya....

       Saya mengenang Dik Hesti sebagai sosok muslimah yang energik. Dia selalu bersemangat menyampaikan pesan bahwa sebagai muslimah kita tetap harus berdakwah, meski bekerja. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas seorang muslimah yang bekerja. Misalnya, mengajak ibu-ibu yang belum berhijab untuk berjilbab, mengajar membaca Al-Qur'an, dll. Satu hal yang menjadi perhatian Dik Hesti adalah muslimah yang sendirian, baik karena belum menikah (dan belum bekerja), atau ditinggalkan pasangan (baik karena perceraian maupun meninggal dunia). Ya, janda-janda muslimah itulah yang menjadi objek yang ingin dibantunya.

       Saat itu, saya masih berpikiran sederhana, belum sejauh jangkauan pola pikir Dik Hesti. Saya lebih fokus membantu anak-anak yatim piatu, anak jalanan, serta mengajarkan keislaman pada teman-teman di kantor. Waktu itu, saya pernah tercatat sebagai satu-satunya muslimah berjilbab di kantor. Ada sejumlah tantangan untuk mengenalkan kewajiban menutup aurat kepada teman-teman muslimah di kantor. Saya membuka pengajian kecil di tempat kerja, memanggil ustaz dan ustazah untuk mengajarkan membaca Al-Qur'an, dan berbagi buku-buku Islam. Saya dan beberapa teman mengumpulkan dana sebulan sekali untuk membiayai beberapa program seperti santunan yatim, dll. Alhamdulillah, program pengumpulan dana tersebut berhasil kami wadahi dalam bentuk lembaga manajemen infaq yang berbadan hukum (pernah terpilih sebagai Lazda terbaik Jawa Timur, kini menjadi Laznas).

       Dik Hesti sepertinya tetap keukeuh di jalur yang dipilihnya, pemberdayaan wanita muslimah. Hal ini terlihat saat dia pindah dari Surabaya. Saya mendengar bahwa Dik Hesti mendirikan sebuah wadah untuk para muslimah, Yayasan Tugas Ibu (YTI) di Tangerang. Saya teringat bagaimana saat di Surabaya Dik Hesti berusaha mewujudkan impiannya. Salah satu hal yang dilakukan Dik Hesti adalah berjualan. Dia sering bercerita ingin menjadi pengusaha 'palugada' (apa loe mau, gua ada). Subhanallah. Saya? Saat itu, saya masih malu-malu untuk berbisnis. Saya memilih menulis untuk menambah penghasilan. Satu hal yang membuat saya salut. Dik Hesti merencanakan keuntungan jualannya untuk membeli kios di Jakarta. Kiosnya ingin dia pinjamkan (tanpa sewa) kepada janda-janda muslimah yang membutuhkan. Sebuah amal yang sungguh mulia.


Saya, Si Mata Bening, seperti embun pagi.... ^_^

       Setelah dewasa, saya paham bagaimana beratnya menjadi seorang janda. Seorang wanita single parent (janda) musti berperan sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Tugas yang relatif berat. Hal ini bisa menjadi lebih berat apabila ada 'kecurigaan' lingkungan. Si wanita muslimah yang 'sendirian' tersebut dianggap sebagai 'ancaman' bagi wanita lainnya. Itu sebabnya, wanita-wanita muslimah tersebut harus berdaya, agar tidak direndahkan.

       Saya pernah melihat ada janda yang, mohon maaf, 'mengganggu' kehidupan rumah tangga wanita lain. Hal seperti ini tentu sekadar kasuistis saja. Saya sangat yakin banyak sekali janda muslimah yang tetap menjaga kehormatannya, meskipun harus berjuang seorang diri. Saya juga pernah menemukan kasus wanita lajang yang, maaf, 'mengambil tempat' wanita lain, bahkan dengan cara yang tidak baik. Kejadian semacam ini pasti juga kasuistis semata. Ada sangat banyak wanita muslimah lajang yang ikhlas sendirian dengan selalu menjaga kehormatan dirinya. Di titik inilah, saya mampu melihat pandangan visioner (jauh ke depan) seorang Hesti Nuraini.

       Beberapa tahun lalu, saya sempat sakit-sakitan. Ternyata, Allah swt berkenan memulihkan kesehatan saya. Dik Hesti dan Fadillah justru mendahului saya. Allah swt memilih saya yang tetap bertahan di dunia. Mungkinkah Allah swt memindahkan tongkat estafet amanah Fadil dan Dik Hesti pada saya? Insya Allah, saya akan berusaha merealisasikan impian sahabat saya (M. Fadillah), dan melanjutkan amanah Dik Hesti untuk terus memberdayakan wanita-wanita muslimah, meski dengan cara yang berbeda. Dik Hesti sepertinya memberikan pelatihan membuat kue-kue, memasak, dan kegiatan sejenis di YTI. Saya lebih paham tentang dunia buku dan menulis. Semoga saya bisa mengajak lebih banyak muslimah untuk semakin tangguh melalui kalam (pena). Menulis itu mencerahkan dunia.

       Kini, saat pulang kerja saya sering memandang taman kecil di halaman kantor. Terbayang lagi rasanya waktu Dik Hesti Nuraini terakhir kali berpamitan pada saya,"Mbak, saya pindah ya. Mohon maaf, kalo selama ini saya ada kesalahan. Semoga Mbak Yuli selalu bahagia. Semoga Allah swt memberi Mbak Yuli kebarokahan dan 'teman' yang membuat Mbak Yuli selalu bermata bening, seperti embun pagi...." Hati ini menangis dik, bila terkenang pesanmu. Terlebih, sejak hari itu hingga hari ini, kita tak pernah bersua lagi....

       Selamat jalan sahabat-sahabat terbaik, M. Fadillah dan Hesti Nuraini. Doakan 'mbakmu' ini mampu melanjutkan amanah kalian. Dari seberang sana, semoga Dik Hesti melihat mata ini tetap bening, seperti embun di pagi hari. Semoga mata ini juga mampu berpijar indah seperti kejora di malam hari. Andai kalian masih ada, tentu kita bisa saling menguatkan, membangun mimpi bersama-sama. Satu pesan Dik Hesti yang saya catat dalam ingatan,"Setiap orang baik akan meninggalkan jejak di hati kita, memberikan jejak di hati teman-teman, dan tetangganya."

      Bismillah. Ya Allah, bimbinglah langkah hamba agar mampu meninggalkan jejak kebaikan bagi sesama, di lingkungan yang seluas-luasnya. Bang Fadil, Dik Hesti, doakan 'mbakmu' menemukan sahabat-sahabat baru yang sebaik kalian. Di era milenial ini, rasanya saya mulai agak kesulitan mendapatkan teman-teman yang bisa memuliakan dan menguatkan sahabat seperti kalian. Semoga optimisme di hati saya bisa mendeteksi sinyal dari teman-teman yang baik, amanah, dan berakhlak mulia. Telah tunai tugas dunia kalian. Doakan saya dan teman-teman tetap istiqomah menapak di jalan kebenaran, meraih keridhoan Allah swt. Semoga kelak kita bisa bertemu kembali di Taman Surga-Nya....







7 comments:

  1. Kenangan bersama sahabat memang sulit untuk dilupakan yah. Apalagi itu sahabat dekat banget :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Anisa Ae : Iya, mbak.... Mereka berdua teman-teman yang teramat baik. Rasanya belum percaya, mereka sudah tiada.

      Delete
  2. Sahabat Ter The Best Smpai Akhir HAyat Kita Selalu ada Di Hati...

    ReplyDelete
  3. Sahabat Ter The Best Smpai Akhir HAyat Kita Selalu ada Di Hati...

    ReplyDelete
  4. Ikut berduka ya, saya juga punya sahabat yang telah pulang.
    Ada rasa sendih, dan ada rasa bersalah, karena belum terlontar kata maaf.
    Tapi ya seperti itulah, hidup ini akan berakhir, entah siapa yang mendahului.
    Enak ya punya teman mau saling nasehat menasehati. Bahkan memberikan sebuah amanat.

    ReplyDelete
  5. Tak terasa sudah hampir dua tahun berlalu sejak tragedi itu. :(

    ReplyDelete
  6. Ketika kehilangan, siapapun itu, paling pertama yang harus di ucap adalah "syukur". YAKIN, pasti akan ada hikmah-hikmah dan kebaikan-kebaikan baru yang datang (semua tergantung prasangka dan sikap kita sendiri). Salam....

    ReplyDelete