Bagian dalam Masjid Ampel, sejuk. |
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata
‘Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan’
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air yang terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata
‘Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan’
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air yang terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
(Bait terakhir puisi “Mencari Sebuah Masjid” karya
Taufik Ismail)
Sewaktu bertugas di Jakarta, ada sebuah masjid yang
rajin saya kunjungi setiap libur kerja di hari Ahad. Saat alih tugas ke
Surabaya, saya kembali mencari masjid untuk menambah ilmu dan meneduhkan hati. Setelah
beberapa lama mencari, saya menemukan sebuah masjid tua di dekat tempat tinggal
dan kantor saya. Masjid tua tersebut menjadi sebuah objek wisata religi yang
banyak dikunjungi peziarah dari berbagai tempat. Benar. Masjid Ampel Surabaya.
Masjid
Ampel dibangun oleh Sunan Ampel dan para pengikutnya di tahun 1421 M. Itu
berarti, masjid tersebut sudah berumur hampir 600 tahun. Dari luar, Masjid
Ampel kelihatannya sederhana saja. Namun, saat melongok bagian dalamnya saya
merasa takjub. Saya melihat tiang-tiang penyangga di masjid tingginya
17 meter, tanpa sambungan. Subhanallah.
Sebuah pilihan yang cerdas sekaligus indah. Angka 17 menggambarkan jumlah
bilangan rakaat shalat wajib yang kita kerjakan. Sementara itu, tiang kayu
setinggi 17 meter merupakan kreasi arsitektur yang menawan baik di masanya
maupun di masa kini.
Awalnya,
saya jarang memasuki Masjid Ampel. Saya lebih senang memandang para peziarah
yang shalat berjamaah hingga di sisi luar masjid. Hitungan tahun berlalu, waktu
berganti, saya tertarik untuk masuk ke Masjid Ampel. Saya berwudhu, shalat,
berdzikir, berdoa dan membaca Al-Qur’an di Masjid Ampel. Sebuah nuansa rasa
yang berbeda menjentik sanubari. Saya merasakan kedamaian di dalam hati.
Hingga, saya senang untuk shalat dan bermunajat di Masjid Ampel, lagi, lagi dan
lagi.
Demikianlah,
saya menemukan oase kecil di tengah panasnya kota Surabaya. Saat hati dilanda
gundah dan duka, saya lebih senang berdzikir di sudut Masjid Ampel. Kala hidup
ini terbebani banyak masalah yang tak terpecahkan, saya membaca Al-Qur’an di
bawah tiang-tiang kayu Masjid Ampel. Saya panjatkan doa-doa di keheningan masjid.
Adakalanya kata-kata tak mampu terucapkan dalam doa, hanya tetesan air mata.
Ajaibnya, doa-doa dan tetesan air mata menjelma dalam kebahagiaan.
Masalah-masalah hidup saya tersolusikan. Doa-doa saya diijabah-Nya. Rezeki pun
dicukupi-Nya. Saya merasakan hadirnya makna kebarokahan di sebuah masjid yang
telah ratusan tahun dipenuhi dzikir, doa-doa, bacaan Al-Qur’an, shalat dan
beragam amal keshalihan.
Saat
ini saya tinggal di Sidoarjo, relatif jauh dari Masjid Ampel Surabaya. Di hari
libur Sabtu atau Ahad, saya tetap meluangkan waktu berkunjung ke Masjid Ampel.
Saya senang menikmati shalat fardhu berjamaah bersama para peziarah yang datang
dari daerah-daerah, tempat-tempat yang jauh. Saya biasa meluangkan waktu
berkunjung di hari Ahad Manis (Minggu Legi), mendengarkan semaan bacaan hafalan
Qur’an di Masjid Ampel. Saya senang apabila ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang
dibacakan adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang saya hafal. Saya sekaligus mengulangi
hafalan Qur’an di memori. Masjid Ampel Surabaya adalah sebuah masjid tua yang
bersahaja. Namun, para peziarah datang dan pergi, shalat dan bermunajat di
dalamnya. Masjid Ampel tak pernah sepi dari jamaah. Buat saya, Masjid Ampel
Surabaya adalah sebuah oase tempat saya merajut waktu mendekatkan diri pada
Allah SWT. Nah, Anda sedang galau? Silakan coba bermunajat di Masjid Ampel
Surabaya.
~ Catatan :
Tulisan ini dimuat di Buletin Pawartos (buletin intern Kanwil DJPBN Provinsi Jatim) edisi 01/2014 (Agustus, 2014).
No comments:
Post a Comment