Oka Antara berbagi tips menjadi seorang ayah. |
Ada satu buku cerita anak-anak yang pernah saya baca. Judulnya "Cita-Cita Si Bayi Kelinci". Kisahnya kurang lebih seperti yang saya tuliskan ini. Alkisah, seekor bayi kelinci lahir. Keluarga dekat dan para kerabat datang untuk menyampaikan ucapan selamat serta harapan untuk bayi kelinci. Ada yang berharap kelak bayi kelinci akan menjadi pedagang permen, pemadam kebakaran, dan berbagai harapan lainnya. Namun, si kelinci kecil berseru,"Aku ingin menjadi AYAH kelinci!"
Sebuah buku inspiratif. |
Tahukah Anda apa pesan tersirat dari cerita tersebut di atas? Benar. Seekor kelinci jantan semestinya menerima kodrat fitrahnya dalam kehidupan, menjadi ayah dari anak-anak kelinci di masa depan. Sebuah cita-cita sederhana namun teramat mulia.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan kita di masa kini? Pola pengasuhan yang sering kita lihat lebih dominan dilakukan oleh para ibu. Para ayah di zaman modern ini terlihat lebih berfokus pada upaya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ibu memang acapkali diberi julukan sebagai madrasah atau guru pertama untuk anak-anaknya. Ibulah yang diharapkan untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak dalam sebuah keluarga. Yang sering terlupakan adalah seorang ayah adalah Kepala Sekolah yang bertugas membuat 'kurikulum' dalam pengasuhan serta pendidikan bagi anak-anaknya. Ayah sebagai kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan, bahan ajar, lengkap dengan kegiatan evaluasi atas pola asuh yang didelegasikan kepada ibu. Seorang ayah juga diharapkan mampu menjadi Guru Pendamping bagi ibu untuk bersama-sama menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.
AYAH adalah gelar yang sangat mulia, gelar yang layak disematkan untuk laki-laki yang mampu mengemban kewajiban keayahan. Apabila seorang ayah turut terlibat dalam mengasuh anak bersama ibu, maka kehidupan keluarga menjadi lebih harmonis. Ayah bukan hanya berfungsi memberi uang seperti mesin ATM. Ayah juga bukan hanya menjaga keamanan seperti Satpam. Seorang ayah mengemban amanah luhur untuk meneruskan peradaban yang lebih baik melalui anak-anak yang berkualitas, cerdas, sehat, shalih, dan bermanfaat bagi umat manusia.
Jadi, apa saja tanggung jawab yang harus dilakukan ayah? Sebagai seorang muslim, saya mengambil contoh seorang hamba Allah yang kisahnya ditulis dalam Al-Quran. Ya, kisah Luqman dalam mendidik anak-anaknya. Luqman biasa memanggil anak-anaknya dengan sebutan "Ya Bunayya" (Wahai anakku), panggilan yang penuh rasa sayang.
Ada beberapa hal yang ditanamkan Luqman kepada anak-anaknya seperti tertulis di QS. Luqman : 13-19, yaitu :
- Jangan mempersekutukan Allah Swt (menanamkan keimanan);
- Berbuat baik kepada kedua orangtua (ibu dan bapak);
- Berbuat kebaikan karena setiap kebaikan pasti akan mendapatkan balasan;
- Melaksanakan shalat, berbuat baik (ma'ruf), mencegah yang munkar, dan bersabar atas apa yang menimpa;
- Jangan memalingkan wajah dari manusia;
- Jangan bersikap sombong dan angkuh;
- Sederhana dalam berjalan, serta anjuran untuk melunakkan (melembutkan) suara.
Hal-hal tersebut di atas wajib untuk diajarkan seorang ayah kepada putra-putrinya, menanamkan akidah serta keimanan, menjalin hubungan baik dengan keluarga maupun lingkungan sekitar. Satu agenda besar yang tentu perlu dijalankan bersama di antara ayah dan ibu.
Bermain bersama ayah membangun kedekatan ayah-anak. |
Di dalam ajaran Islam, ada sebuah hadits yang berbunyi :
“Ajari anak-anakmu berenang, berkuda dan memanah.”
(HR. Bukhari-Muslim),
maka tugas seorang ayah untuk menjadikan anak-anaknya generasi penerus yang tangguh selayaknya ditunaikan. Ternyata, ayah tak hanya dituntut menanamkan nilai-nilai agamis, akademis, maupun membangun hubungan baik dengan lingkungan. Ayah juga wajib membuat keturunannya sehat, berkualitas, dan memiliki ketrampilan fisik untuk menaklukkan dunia. Itu sebabnya, di hadits disebutkan beberapa jenis ketrampilan fisik : berenang, berkuda, dan memanah.
Nah, tugas seorang ayah ternyata berat juga ya? Ayah harus mencari nafkah, menjaga ibu (istri) serta anak-anak, menanamkan keimanan dan pemahaman agama, mengajari ketrampilan fisik, membuat keluarga sejahtera dan harmonis. Wow, sesuatu yang keren bukan?! Tak bisa dipungkiri, jika kewajiban sebagai ayah dilaksanakan dengan baik dan ikhlas, balasannya adalah kehidupan surga di dunia dan akhirat. Masalahnya, haruskah berbagai kewajiban keayahan tersebut dilakukan dengan keras, tegas, dan penuh hukuman agar semuanya terselesaikan dengan baik? Tentu tidak. Saya yakin bahwa AYAH YANG HANGAT akan lebih dicintai dan dituruti kata-katanya oleh anggota keluarga.
AYAH yang HANGAT adalah ayah yang mampu menanamkan akidah maupun tanggung jawab kepada putra-putrinya secara lembut, menyenangkan, dan berkesan. Ayah yang hangat mampu menjadi matahari yang senantiasa menerangi hati keluarga, istri serta anak-anaknya. Para ayah bisa membangun kehangatan kasih sayang untuk anak-anaknya lewat beragam cara, misalnya :
- mengajak anak-anak shalat Shubuh berjamaah di masjid tiap pagi
- meluangkan waktu 1 X dalam sebulan untuk berenang bersama anak-anak
- membuat sarapan bersama ibu untuk dinikmati bersama di hari libur
- mendengarkan curhat (cerita) anak di malam hari, meski tidak setiap hari
- mengajak anak bersilaturahmi dengan keluarga besar yang lama tak dikunjungi, dlsb.
Seorang ayah bisa membangun kedekatan dengan anak-anak tanpa perlu biaya besar. Yang perlu dipersiapkan adalah kemauan dan kreativitas untuk mengubah sesuatu yang sederhana menjadi pengalaman yang berkesan. Ayah yang hangat, dekat, dan menyenangkan diharapkan mampu mengantarkan anak-anaknya menuju masa depan yang cerah. Ibarat burung yang terbang dengan dua sayap, anak-anak butuh kasih sayang dan peran ayah-ibu untuk membuat mereka bisa terbang meraih impiannya. Dunia seorang ayah bukan hanya berupa kotak : koran, televisi, maupun komputer (gadget). Dunia seorang ayah teramat luas, mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi penerus peradaban.
Wahai para AYAH, berperanlah sebagai pendamping terbaik untuk para ibu dalam mengasuh, mendidik, serta membesarkan anak-anak. Jangan sampai anak-anak negeri ini merasa tak berayah karena tak merasakan peran dan kehadiran ayah dalam kehidupannya. Kita tentu tak ingin negeri ini menjadi fatherless country. Negeri tanpa ayah. Sekali lagi, ayah yang hangat mampu membentuk kemandirian, keberanian, dan ketegasan. Sosok ayah dibutuhkan untuk membangun karakter-karakter ketangguhan agar anak-anak mampu mengambil keputusan, menjemput cita-cita serta masa depan yang cerah dan bahagia bagi anak-anaknya. Jadi, berperanlah wahai para ayah. Tunaikan kewajiban sebagai ayah yang hangat, agar negeri ini mewarisi anak-anak penerus bangsa yang berkepribadian utuh, berkualitas, dan bermanfaat bagi umat manusia.
No comments:
Post a Comment